Blusukan Candi-candi di Sleman (Part 3)

Banyaknya candi-candi yang terdapat di Sleman dan sekitarnya tidak menyurutkan niat saya selama liburan di Sleman kota seribu candi ini. Rasa penasaran saya masih berlanjut sampai hari ke tiga ini. Saking penasarannya sampai saya memasang target bisa mengunjungi semua candi disini. Ya, semua candi. Jangan disalah artikan dengan semua situs ya, karena semua candi adalah situs, dan tidak semua situs adalah candi, hehehehe. Well, tidak semua situs saya kunjungi karena keterbatasan waktu dan juga kondisi.

Sebelumnya, di Part 1 dan Part 2 saya sudah menceritakan pengalaman saya mengunjungi beberapa candi di Sleman. Candi apa sajakah gerangan yang sudah saya kunjungi? Penasaran? Tinggal baca aja di artikel sebelumnya, hehe.

Well, di postingan saya yang ke tiga tentang blusukan candi ini saya mengunjungi beberapa candi, antara lain sebagai berikut. Cekidoot...

Part 3
Hari ketiga : Candi Kedulan

Hari Keempat : Candi Abang, Situs Arca Gupolo, Candi Barong, Candi Dawangsari, Candi Banyunibo
*
huruf tegak akan dibahas pada postingan selanjutnya, part 4.
Part 3 | Hari ketiga : Candi Kedulan (Feb 6, 2015)

Candi Kedulan
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, semakin terbataslah waktu saya sore itu. Niatnya bakal mengunjungi dua candi di sore itu. Namun akhirnya diputuskanlah saya hanya mengunjungi candi Kedulan.

Secara administratif, Candi Kedulan terletak di Dusun Kedulan, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, DIY. Rute menuju candi Kedulan cukup mudah, dari arah kota Yogyakarta sebelum mendekati candi Sari, belok kiri dan ikuti jalan tersebut sampai menemukan papan penunjuk arah menuju candi Kedulan.

Kondisi candi Kedulan saat ini.
Saat mengunjungi candi Kedulan, kondisi candi tersebut mengingatkan saya pada candi Sambisari yang terlebih dahulu ditemukan tahun 1966. Yup, kedua candi tersebut saat ditemukan berada minus 6,5 meter dibawah permukaan tanah. Beberapa kali letusan gunung merapi pada zaman dahulu menyebabkan candi tersebut tertimbun material vulkanik. Kembali ke Candi Kedulan, posisi candi tersebut persis di sebelah sebuah gang kecil. Tanpa adanya pagar pengaman sama sekali, bayangkan bagaimana seandainya ada orang lewat situ lagi ngantuk atau papasan dengan kendaraan lain akhirnya terjun bebas ke 'kolam' candi tersebut. Terlebih tebing galian itupun juga rawan longsor.

Kumpulan batu-batu yang akan direkonstruksi. Diperkirakan kondisi batu lengkap lebih dari 75% sehingga layak untuk direkonstruksi.
Setelah melewati dinding yang mengelilingi candi, maka kita akan masuk ke bagian dalam ruangan candi Kedulan. Begitulah kira-kira versi rekonstruksinya.
Setelah mengisi buku tamu, saya melakukan sedikit perbincangan sama seorang bapak-bapak yang sedang bertugas jaga di tempat itu. Beberapa batu candi sudah 'diamankan' di suatu tempat tak jauh disitu untuk direkonstruksi ulang. Memang tampak beberapa tumpukan batu yang sudah tersusun dengan baik dan tinggal atapnya saja yang belum disusun. Apabila penyusunan ulang batu-batu candi tersebut berhasil, maka akan disusun kembali di lokasi candi yang sebenarnya, layaknya candi Sambisari. Kemudian kompleks candi tersebut ditata ulang dan dibangun taman baru.
Kondisi candi yang dikelilingi rembesan air tanah. Tidak ada candi perwara pada candi Kedulan.
Posisinya persis berada di samping jalan gang dan sudah dibangun talud yang sementara dipakai dengan batu candi agar tidak longsor kembali.
Kondisi candi asli saat ini terlihat kaki candinya saja, dan dikelilingi oleh 'kolam' rembesan air yang keluar dari dalam tanah karena tak jauh disekitar terdapat persawahan. Saya juga teringat kisah yang saat dilakukan penggalian ditemukan pula fosil pohon jati tak jauh di sekitar lokasi penggalian. Diduga pohon jati itu tumbuh saat candi itu memang sudah ditinggalkan, sebab lokasi sekitar tempat suci pada masanya, biasanya jarang ditumbuhi pohon. Bapak tadi menunjukkan saya dimana letak ditemukannya fosil pohon jati kuno itu. Sebagian potongan kayu jati kuno itu sempat diangkat dan diamankan di gedung semacam museum/pameran tak jauh disekitar situ. Kini menyisakan potongan kecil fosil kayu jati kuno yang masih menancap di tanah.
Beberapa batu yang dikumpulkan untuk menunggu direkonstruksi.
Saat dilakukan penggalian, ditemukan beberapa arca dan sebuah lingga serta barang berharga lainnya yang kini disimpan bersama dengan kayu jati kuno. Dari arsitektur candi tersebut mirip dengan candi Ijo, maka jelas candi ini merupakan candi Hindu. Namun candi ini cenderung berpusat di tengan dan tidak terdapat candi perwara/candi pengiring/candi anakan. Candi ini kira-kira dibangun pada sekitar tahun 800an (abad ke-9) zaman kerajaan Medang/Mataram Kuno.
Ini nih sisa fosil kayu jati kuno yang sering diceritakan orang. Untuk potongan kayu lainnya disimpan di gedung koleksi seperti museum tak jauh disitu.
Tak terasa waktu sudah mendekati maghrib. Setelah terlibat perbincangan enak dengan bapak penjaganya kemudian saya berpamitan dan melanjutkan blusukan saya pada esok harinya. Maturnuwun pak.

Part 3 | Hari keempat : Candi Abang, Candi Barong, Candi Dawangsari, Candi Banyunibo (Feb 7, 2015)
Candi Abang


Ini pertama kalinya saya melakukan blusukan di siang hari. Terasa panas memang awalnya, namun perlahan cuaca mulai menggelap pertanda hujan bakal turun. Meski begitu, saya masih optimis hujan bisa berbaik hati menunggu saya selama hari ini. Candi Abang merupakan candi terjauh yang saya kunjungi.
Jalan akses menuju candi Abang yang terletak di atas bukit kini sudah di aspal. Hal ini berbanding terbalik dengan cerita kebanyakan orang yang menuju ke candi Abang begitu berat dan ekstreme karena jalannya berbatu dan sangat terjal. Rupanya jalan tersebut baru diaspal pada bulan 11 tahun kemarin. Kini sudah ramai pengunjung, tak seperti saat jalan akses masih susah. Untuk menuju candi Abang terlebih dahulu kita parkir motor di tempat yang sudah disediakan warga sekitar dan bayar IDR 2k. Kemudian kita berjalan kaki naik lagi. Jalan yang dilalui masih berbatu dan lumayan licin serta sedikit terjal. Andai sepeda motor melewati jalan ini bakal terasa kesusahan. Terlebih matic yang semakin ngos-ngosan atau kalau gak bakal tersangkut di bagian bawahnya. Lebih hebat lagi sepeda, hoho.

Di atas candi
Ijin ambil gambarnya ya mbak :p
Jalan kaki dari parkiran menuju candi sekitar 100 meter. Bukan apa-apanya, kecuali orang yang tidak terbiasa mendaki terlebih jalan kaki aja, dijamin pasti bakal kelelahan sampai di atas. Dan akhirnya tiba juga di Candi Abang.

Saat tiba, kesan pertama yang terasa yaitu...wah megah sekali candinya, cantik sekali candinya, rumit sekali arsitekturnya...hahaha just kidding. Kenyataannya, tidak ada bangunan candi yang berdiri kok disini. But wait, mana candinya? Disini cuma terlihat sebuah bukit kecil aja. Candinya mana? Nah perlu teman-teman tahu, sebenarnya bukit itulah candinya. Kok candi bentiuknya bukit ya, unik banget gitu? Oke oke, sebenarnya begini. Dulu di tempat ini memang berdiri sebuah candi. Namun karena candi tersebut terbuat dari bata merah, maka kini yang tersisa hanya reruntuhan bata merah yang sudah tidak dapat lagi disusun kembali. Oleh karena itu dinamakan Candi Abang, karena candi tersebut menyisakan bukit kecil reruntuhan bata berwarna merah (bahasa Jawa abang = merah). Kondisi candi kini tetap dibiarkan seperti saat pertama ditemukan. 

Disini sekarang lumayan rame. Mungkin karena lagi musimnya liburan, ditambah jalannya sudah diaspal, semakin mudah untuk dikunjungin. Beberapa pengunjung datang rombongan. Ada yang berasal dari Makassar, ada yang dari Jawa dan mereka berbicara dengan logat jawa tengahannya, dan ada yang dari Jakarta; sebagian dari mereka menyebut Candi Abang ini sebagai Bukit Teletubies, karena reruntuhan candi itu berbentuk bukit sempura, ditumbuhi rumput berwarna hujau. Mirip kayak bukit yang ada di acara TV anak-anak Teletubies. Hayo siapa yang gak pernah nonton teletubies?
Tumpukan batu bata merah dari candi yang sudah tidak dapat disusun lagi.
Sebuah batu berbentuk lingga segienam yang terbelah dua
Saya kelilingi bukut..eh, candi ini. Di sekitar candi saya temukan sebuah batu berbentuk mirip lingga namun berbentuk segi enam. Kondisinya sudah terbelah dua di pojokan kompleks candi ini. Entah kenapa gak disatuin lagi, atau diamankan gitu. Tak jauh juga disitu terdapat tumpukan pecahan batu bata merah candi yang mungkin sudah tidak bisa disusun lagi. Kemudian di salah satu sisi candi ada sebuah bata merah berukuran separuh. Ukuran separuh aja udah gede, gimana utuhnya nih. Batu bata itu saya bandingkan sama hape saya.
Tumpukan batu bata merah di sebelah candi.

Naik ke atas bukit..eh candi.
Potongan kecil bongkahan batu bata dengan hape Xperia saya.
Habis itu saya naik ke puncak candi, lihat pemandangan sekeliling dari atas sini. Cuaca yang saat itu terkadang panas kemudian berubah menjadi gelap. Guntur secara tiba-tiba menyambar seolah persis di sebelah saya, lantas saya langsung lari turun dari puncak bukit hahaha. Dibawah saya nyari tempat berlindung. Ada pendopo kecil yang tempat duduknya malah miring. Lalu ada papan informasi tentang candi Abang. Tulisannya panjang bangeet dan lengkap, informatif sekali (bercanda doang, padahal papan informasinya kosong belum ada tulisannya hahaha). Dari atas bukit sini bisa terlihat sekeliling pemandangan yang indah dibawahnya.

Banyak sekali tulisannya di papan, informatif sekali (yee ngeledek, belum ada tulisannya padahal)
Di tengah ada semacam cekungan yang diduga pernah digali sebelumnya. Nah disinilah ruang diduga tempat disimpannya lingga/yoni dan arca-arca, sebelum diangkat dan diamankan. Ada salah seorang mas-mas pengunjung, bertanya sama anak-anak sekitar sana yang lagi bermain disitu. "Beneran ini batu bata nya candi abang?" Anak-anak itu mengangguk. "Trus apa bedanya ini sama batu bata biasa?" Anak-anak itu gak bisa ngejawab. Hahahaha. Kalo diperhatiin memang kayak batu bata. Yaiyalah wong itu batu bata. Bedanya, batu bata buat candi ini saat itu dibakar dengan cara yang nyaris sempurna, sehingga batu bata itu bisa awet sampai sekarang. Coba deh kamu bikin batu bata trus dibakar dengan kualitas tinggi, pasti awet sampai 7 turunan kalian, hehehe.
Galian tempat sebuah ruangan kosong berisi lingga dan arca dulu.

Entah kenapa candi ini terbuat dari bata merah, padagal disekitar sini cenderung berbatu putih. Bahkan berundak-undak mirip sawah Subak di Bali. Dugaan ngawur saya sih mungkin dulu ini bekas sawah kuno yang sudah membatu lumpurnya. Atau memang sengaja dibikin berundak jika memang batuan putih, bukan sawah kuno. Ohiya tempat ini sering dikunjungi para pesepeda baik pagi maupun sore hari. Disini juga merupakan spot terbaik buat liat sunset dan gak kalah indah dibanding liat sunset di Ratu Boko maupun Candi Ijo beserta candi-candi gunung lainnya.
Siapa yang lihat ada pesawat pada gambar ini?

Dari atas dengan pemandangan di bawah

Oke, saat rombongan perlahan mulai turun saya pun 'ngekor' turut turun, untuk melanjutkan perjalanan saya yaitu ke Candi Barong.

Situs Arca Gupolo dan Perjalanan nyaris tersesat ke Candi Barong

Sebelum ke candi Barong sebenarnya saya ke arah jalan menuju candi Ijo. Loh saya kan udah kesana, ngapain kesana lagi 3 kali? Bukan, saat itu saya mau ngeliat Situs Arca Gupolo, gak jauh dari Candi Ijo. Namun saat saya kesana malah sampai di tempat kerajinan batu, dan mentok di rumah warga. Duh, paling masih harus blusukan lagi turun ke bawah sana. Karena terbatasnya waktu ditambah banyaknya warga disana dan jalannya yang blusukan menurun, terpaksa saya putar arah dan melanjutkan perjalanan.Ohya setelah dari dari situs arca saya sempat mampir ke kawasan wisata batu breksi. Sayang saat itu jam operasional bagi penambang batu breksi. Tempat ini baru bisa dikunjungi dengan aman saat sore hari.

Buat yang penasaran apa sebenarnya Situs Arca Gupolo adalah kumpulan dari 7 buah arca berciri agama Hindu yang terletak di dekat Candi Ijo dan Candi Barong, di wilayah kelurahan Sambirejo, kecamatan Prambanan, Yogyakarta. Gupolo merupakan nama panggilan dari penduduk setempat terhadap patung Agastya yang ditemukan pada area situs. Biasanya, gupala adalah sebutan untuk arca raksasa penjaga pintu. Walaupun bentuk arca Agastya setinggi dua meter ini sudah tidak begitu jelas, namun senjata trisula sebagai lambang dari dewa Siwa yang dipegangnya masih kelihatan jelas. Beberapa arca yang lain, kebanyakan adalah arca dewa Hindu dengan posisi duduk. Di dekat arca Gupolo terdapat mata air jernih berupa sumur yang dipakai oleh penduduk setempat untuk mengambil air, dan meskipun di musim kemarau panjang sumur ini tidak pernah kering.

Situs arca gupolo, dengan 7 arca Buddha, salah satunya terdapat sebuah patung Buddha besar dan sebuah patung raksasa Rsi Agastya setinggi nyaris 3 meter.
Saran saya kalau mau ke Candi Barong, jangan mengambil jalan dari Candi Ijo, kalau kalian tidak mau tersesat. Jalannya sangat sulit dan berliku-liku. Sebagian masih berupa belantara dan suram banget, ngeri. Meskipun jalannya sudah di cor dua arah, namun terkadang licin dan berbahaya. Cor nya terlihat masih belum lama dibuat. Saya sampai beberapa kali tanya warga sekitar yang sedang berkebun soal arah ke candi barong. Sebagian sudah sepuh, maka saya harus bertanya menggunakan bahasa jawa halus.


Sempat kesasar beberapa kali, malah tembus jalan lain menuju Ratu Boko. Hadeh, untung ada warga sekitar yang memberi petunjuk arah, dan sekalian beli minuman, walau saya nggak punya uang kecil tapi beliau ikhlas. Apa saya saya cuma punya Rp 6 ribu koin pak. Maturnuwun pak. Akhirnya saya menemukan jalan beraspal sesuai dengan petunjuk bapak tadi, dan sampailah di candi Barong. Huffftt!!!

Candi Barong dan Candi Dawangsari

Saat ke Candi Barong, kondisi baterai hape saya sudah habis dan tak memungkinkan mengambil gambar. Hmm tak puas rasanya. Di sekitar candi Barong juga terdapat Candi Dawangsari. Okelah, kalau gitu saya skip aja esok harinya saya berkunjung ke tempat ini lagi, tentunya lewat jalan yang benar pula. Kapok deh lewat jalan 'coba-coba' sampai nyasar begitu. -,- Maka saya masukkan artikel mengenai kedua candi ini pada part selanjutnya.
  
Candi Banyunibo

Selfie with Candi Banyunibo
Setelah itu saya sempatkan mampir ke candi Banyunibo. Candi ini sangat dekat dengan candi Barong dan berada di bawah bukit sehingga dari atas dapat terlihat keberadaan candi Banyunibo. Jalan menuju candi ini sama saat akan menuju ke Candi Ijo dan Candi Ratu Boko. Tinggal ikuti papan penunjuk yang tersedia.

Candi Banyunibo, huruf vokal 'o' nya dibaca seperti kita mengucapkan kata "bom". Dalam bahasa Jawa, Banyunibo artinya "air yang jatuh (menetes)". Padahal saya tidak menemukan adanya sumber air maupun air yang jatuh atau juga menetes. Yang saya tahu, candi ini bisa disebut candi mewah, alias mepet sawah, hehehe. Sampai saat ini saya masih heran mengapa diberi nama Banyunibo. Saat tiba disini, saya lapor tuk mengisi buku tamu dan diwajibkan untuk mengisi retribusi. Walah ada retribusinya toh. Oke, waktu itu saya sumbang berapa ya, yang penting sukarela. Setelah itu saya mendekati Candi Banyunibo.

Secara arsitektur, atap candi ini berbentuk polos prisma segi empat seperti bentuk atap rumah pada umumnya. Di puncaknya terdapat sebuah stupa, yang kita bisa tebak candi ini merupakan candi peninggalan agama Buddha. Saat memasuki bagian dalam ruangan tidak terdapat apa-apa alias kosong. Tidak ada lingga-yoni ataupun sebuah arca tergeletak di dalam. Hmm mungkin udah diamankan, atau saat ditemukan memang tidak ada.


Saat mengelilingi candi ini, kondisi relief pada dinding candi ini ini sudah tidak lengkap dan banyak digantikan oleh batu baru. Di setiap sisi candi terdapat relung namun sudah tidak ada arca yang terpajang di semua relung itu. Namun pada bagian kaki candi cenderung memiliki desain floratis, yaitu relief hiasan menyerupai ukiran aliran tumbuhan.


Sedikit deskripsi, candi ini berukuran 15,325×14,25 meter dengan ketinggian 14,25 meter. Pintu utama candi ini menghadap ke barat. Candi ini memiliki enam candi perwara; tiga diantaranya berada si sebelah selatan dan tiga lainnya di sisi timur yang diduga berbentuk stupa dengan diameter sekitar lima meter. Sayang tidak ada gambar yang saya ambil. Menurut relief yang tertera terutama bagian dalam, candi ini ditujukan untuk menghormati Dewi Hariti yang merupakan dewi kesuburan dalam agama Buddha. Oleh karena itulah candi ini cukup banyak terdapat relief floratis di bagian kaki candinya. Namun tidak terdapatnya lingga-yoni apa pertanda tidak ada kaitannya dengan kesuburan punya manusia? If you know what I mean lah. :v Bukan tradisi Buddha? Bahkan candi ini ditemukan patung/arca Nandi alias kerbau lambang kemakmuran dalam kepercayaan Hindu. Nah lho?

Kisah Dewi Hariti
Saat kesini saya tidak mempunyai foto-foto kualitas bagus karena hape udah dead, tapi hanya ada foto selfie dengan kualitas jelek dari kamera depan.

Setelah puas mengunjungi candi ini, maka berakhirlah blusukan candi untuk hari ini, karena hape andalan buat ambil foto udah mati. Karena itu blusukan dilanjutkan esok harinya.


Demikian hasil blusukan candi-candi sepanjang hari ini. Lanjutan artikel selanjutnya yaitu Blusukan Candi-candi di Sleman (Part 4). Thanks atas waktunya membaca artikel ini, sampai pada artikel selanjutnya. See yaa.

Komentar

My Popular Post

Free Wi-Fi di McDonald's Dinoyo Malang

Yogyakarta-Malang with KA Malioboro Ekspres (Trip Review)

Tips Membuat Kue Bola-bola Keju Coklat | Mudah

Tukang Sol Sepatu Tua di Perempatan ITN Malang

Basa Jawa Kasar (Very-low Javanese Language)

Beragam Situs Peninggalan Sejarah di Malang Raya

Blusukan Candi-candi di Sleman (Part 2)